Kerajaan Tamiang Aceh
http://4.bp.blogspot.com/_u7qQy8lmYGk/SssAaOwiFGI/AAAAAAAAAhA/XVoRm3qniy4/s72-c/Peta+Aceh+Tamiang.JPG
Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya
sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk,
berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut
A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang
ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir
ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M) . Sedang menurut
Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana
ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po
Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa
pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang
digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai
dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang
pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten
Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin
dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara.
Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan H.M. Zainuddin. Dengan penyajian ini diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi penelitian selanjutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh (1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M); 4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).
Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak, maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).
Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang. Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).
Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam, ditunjuk seoang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).
Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu).
2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar.
Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.
Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).
Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.
Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan disekitar tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan saja. Dengan terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang). Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.
Dengan terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintahan baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu. Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota Menanggini (daerah Karang Baru sekarang). Dari ibu kota baru itu Po Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman, penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak dilupakan oleh raja ini.
Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas . Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.[]
Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan H.M. Zainuddin. Dengan penyajian ini diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi penelitian selanjutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh (1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M); 4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).
Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak, maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).
Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang. Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).
Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam, ditunjuk seoang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).
Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu).
2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar.
Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.
Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).
Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.
Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan disekitar tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan saja. Dengan terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang). Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.
Dengan terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintahan baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu. Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota Menanggini (daerah Karang Baru sekarang). Dari ibu kota baru itu Po Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman, penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak dilupakan oleh raja ini.
Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas . Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.[]
Posting Komentar